Hermanto | 2022-10-17 | 15:35:00
Tanaman berkhasiat obat atau yang lebih populer disebut sebagai tanaman herbal semakin diminati akhir-akhir ini. Masyarakat Indonesia banyak yang memanfaatkan tanaman herbal untuk dikonsumsi sebagai jamu terutama pada masa pandemi COVID-19. Di tengah kebingungan dan keputusasaan karena belum ada obat yang diyakini dapat mengatasi COVID-19, masyarakat melirik jamu sebagai usaha untuk menjaga kesehatan, bahkan untuk memulihkan kondisi saat terinfeksi COVID-19. Sebuah penelitian kuantitatif terhadap 1.524 partisipan di Indonesia menyebutkan bahwa 79% responden mengonsumsi jamu untuk meningkatkan daya tahan tubuh, 55,7% responden menjadi lebih sering minum jamu, dan 78,5% responden menyarankan orang lain, yaitu keluarga dan temannya, untuk minum jamu selama pandemi COVID-191.
Seiring dengan tren back to nature dan back to jamu, masyarakat banyak yang memulai bercocok tanam di pekarangan rumah. Apalagi di masa pandemi, saat masyarakat harus lebih banyak tetap tinggal di rumah, bercocok tanam merupakan ide cemerlang untuk memanfaatkan dan menghabiskan waktu di rumah. Hal ini menjadi perhatian bagi pemerintah, contohnya di Kabupaten Soppeng2. Melalui surat edaran, bupati Kabupaten Soppeng menghimbau masyarakat untuk memanfaatkan lahan pekarangan dengan menanam tanaman hortikultura seperti sayuran, umbi-umbian, buah-buahan, dan tanaman berkhasiat obat sebagai bentuk antisipasi dampak yang ditimbulkan pandemi COVID-19.
Namun, tidak semua tanaman berkhasiat obat aman untuk ditanam. Beberapa tanaman berkhasiat obat justru dilarang untuk ditanam, apalagi dikonsumsi. Sebab, tanaman tersebut termasuk ke dalam golongan narkotika. Narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi dapat juga menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama3. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, tanaman berkhasiat obat ada yang termasuk dalam narkotika golongan I. Oleh karena itu, pemanfaatannya hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak untuk dikonsumsi secara bebas4.
Tanaman berkhasiat obat yang termasuk dalam golongan narkotika antara lain adalah sebagai berikut.
Ganja dikenal juga dengan nama mariyuana, chimeng, dan rami. Ganja merupakan tanaman semusim yang mampu tumbuh mencapai dua meter dengan batang bercabang- cabang. Ganja memiliki daun majemuk menjari, bagian pinggir daun bergerigi dengan ujung lancip. Di Indonesia, ganja secara ilegal paling banyak dibudidayakan di Aceh5.
Gambar 1. Tanaman Ganja6
Ganja telah lama digunakan di seluruh dunia. Secara tradisional, ganja digunakan untuk tujuan kesehatan, produksi serat, tali, tekstil, kertas, bahan makanan, dan digunakan pada ritual budaya/keagamaan tertentu7. Di Indonesia, dahulu ganja digunakan untuk membuat serat alami sebagai bahan dasar pembuatan pakaian dan digunakan sebagai bahan tambahan dalam minuman atau penyedap masakan5.
Hingga saat ini, di Indonesia ganja termasuk dalam golongan narkotika karena penggunaan ganja berpotensi penyalahgunaan yang menimbulkan ketergantungan6. Ganja mengandung zat psikoaktif yang dapat membuat penggunanya mengalami penurunan atau perubahan kesadaran. Zat psikoaktif yang terkandung dalam ganja adalah THC (tetrahydrocanabinol) dan CBD (cannabidiol)5,7.
Kratom termasuk ke dalam suku Rubiaceae seperti tanaman kopi. Secara morfologi, kratom berupa tanaman pohon dengan batang lurus dan kulit batang berwarna abu kecoklatan. Kratom tumbuh subur di daerah dekat aliran sungai pada jenis tanah aluvial yang kaya bahan organik8.
Gambar 2. Tanaman Kratom Muda (A), Pohon Kratom (B)8
Kratom secara tradisional digunakan di Malaysia dan Thailand untuk mengurangi rasa nyeri, relaksasi, mengatasi diare, menurunkan panas, dan mengurangi kadar gula darah. Pengguna di Thailand menyebutkan selain memberikan efek stimulan, konsumsi kratom
menghasilkan perasaan yang menyenangkan. Di Indonesia, secara tradisional kratom digunakan untuk menambah stamina, mengatasi nyeri, rematik, asam urat, hipertensi, gejala stroke, diabetes, susah tidur, luka, diare, batuk, kolesterol, tipus, dan menambah nafsu makan9.
Daun kratom mengandung senyawa alkaloid mitraginin dan 7-hidroksimitraginin yang memiliki afinitas sebagai agonis pada reseptor opioid terkait dengan interneuron dopaminergik dan GABA-ergik. Aktivitas kratom sebagai agonis reseptor opioid μ, δ, dan κ sangat potensial dikembangkan menjadi analgesik dengan efek antinosiseptif kuat tetapi efek samping lebih lemah. Efek subyektif konsumsi kratom cukup bervariasi, mulai dari psikostimulan hingga penenang. Untuk pencegahan penyalahgunaan yang berujung pada potensi ketergantungan, saat ini daun kratom dimasukkan ke dalam bahan yang dilarang untuk produk obat tradisional dan suplemen makanan8,9.
3. Khat (Chata edulis)
Gambar 3. Tanaman Khat10
Khat atau sirih Arab termasuk jenis tanaman hias yang daunnya sering dikonsumsi sebagai tradisi di Afrika Timur dan jazirah Arab. Khat dikenal dengan nama lokal qat di Yaman, eschat di Ethiopia, dan miraa di Kenya. Bagian tanaman yang digunakan adalah daun dan pucuk yang masih muda11. Secara tradisional, khat digunakan untuk mengatasi kelelahan dan meningkatkan vitalitas. Tanaman khat pernah banyak dibudidayakan di kawasan Puncak10 untuk dikonsumsi sendiri dan juga dijual pada turis Timur Tengah yang berkunjung ke wilayah tersebut. Khat mulai sering dibicarakan di Indonesia setelah peristiwa penggerebekan seorang artis yang menggunakannya sebagai dopping pada tahun 2013 lalu12.
Dari hasil uji laboratorium yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), Khat mengandung katinona dalam waktu 48 jam pasca dipetik. Setelah lewat 48 jam, yang tersisa pada tanaman ini hanyalah katina12. Kandungan dalam tanaman inilah yang masuk dalam Narkotika Golongan I untuk katinona3. Katinona dan katina memiliki efek stimulan, seperti timbulnya euforia, hiperaktif, tidak mengantuk, dan tidak menimbulkan rasa lapar. Mengonsumsi tanaman ini dalam waktu lama dapat mengakibatkan depresi, halusinasi, kelainan psikosis, kanker mulut, stroke, hingga menyebabkan kematian
4. Opium (Papaver somniferum)
Gambar 4. Tanaman Opium13
Opium, apiun, poppy adalah tanaman semusim yang dibudidayakan di pegunungan kawasan subtropis. Tinggi tanaman hanya sekitar satu meter. Daunnya jorong dengan tepi bergerigi. Bunga opium bertangkai panjang dan keluar dari ujung ranting. Satu tangkai hanya terdiri dari satu bunga dengan kuntum bermahkota putih, ungu, dengan pangkal putih serta merah cerah. Bunga opium sangat indah hingga lazim dijadikan tanaman hias. Buah opium berupa bulatan sebesar bola pingpong bewarna hijau14,15.
Opium atau candu sudah dikenal di Indonesia sejak berabad-abad lalu. Sejak abad ke- 17, Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan candu sebagai komoditas perdagangan yang penting untuk dimonopoli serta menjadi objek pajak. Penikmat candu tersebar di berbagai kalangan. Pada kalangan papan atas, candu dikonsumsi sebagai gaya hidup, disuguhkan sebagai tanda kehormatan bagi tetamu di rumah para bangsawan14.
Opium merupakan salah satu tanaman tradisional yang memiliki sejarah panjang penggunaannya sebagai obat. Opium sering disebutkan untuk menghilangkan rasa sakit dan merangsang tidur. Opium merupakan bahan dasar pembuatan beberapa obat dan yang paling banyak digunakan adalah alkaloid seperti morphine, codein, thebain, dan porphyroxine yang merupakan komponen terpenting dari tanaman ini15. Di Indonesia, tanaman opium termasuk dalam narkotika golongan I sehingga penggunaannya terbatas hanya untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi3,4.
5. Koka (Erythroxylum coca)
Koka adalah tanaman asli Amerika Selatan. Tanaman koka tumbuh antara 2 sampai 3 meter dan berbentuk semak duri hitam. Cabangnya kecil lurus dan beranting. Daunnya tipis berwarna hijau, gelap, oval dan tampak runcing pada bagian ujungnya. Tanaman koka berbuah kecil. Bunga tumbuh di tangkainya dan melingkar mengumpul pada tangkai-tangkai berukuran pendek. Mahkotanya terdiri dari bunga berwarna putih kekuningan. Kepala putiknya berbentuk hati. Pada saat masak, bunganya tumbuh menjadi buah berwarna merah16.
Gambar 5. Tanaman Koka17
Daun koka telah menjadi bagian dari gaya hidup dan budaya suku Indian Amerika Selatan sejak ribuan tahun lalu. Tujuan mengonsumsi daun koka dahulu adalah untuk kesehatan mengatasi sakit perut, sakit gigi, mual, konstipasi, dan diare. Daun koka juga dimanfaatkan mereka sebagai penahan lapar, mengurangi rasa sakit, meningkatkan stamina tubuh dan untuk ritual keagamaan18.
Sebelum ditemukan obat bius masa kini, tanaman koka merupakan bahan anestesi lokal terbaik pada masanya. Tanaman koka juga menjadi bahan dasar dari narkotika jenis kokain. Meskipun tanaman koka memiliki banyak manfaat, tetapi penggunaannya secara berlebihan bisa menyebabkan masalah malnutrisi, kelelahan, masalah pada gigi dan kulit serta meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah, apalagi jika disalahgunakan16,18.
Lima tanaman berkhasiat obat di atas adalah beberapa jenis tanaman yang dilarang untuk ditanam dan dikonsumsi karena termasuk dalam golongan narkotika. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I (termasuk tanaman tersebut di atas), dapat dikenai hukuman pidana penjara paling singkat empat tahun dan pidana denda paling sedikit delapan ratus juta rupiah. Oleh karena itu, hati-hati, sebelum bercocok tanam sebaiknya kenali betul jenis tanaman berkhasiat obat yang akan ditanam di pekarangan rumah dan jangan menanam tanaman yang dilarang apalagi mengkonsumsinya. Jika lalai, jerat hukum telah siap menanti.
Referensi:
An update review [Internet]. Journal of Drug Delivery & Therapeutics. 2018; 8(5-s):110-114. Diakses melalui http://dx.doi.org/10.22270/jddt.v8i5-s.2069 pada 27 Juni 2022.
Penulis
dr.Lathifah A. Rahmani
© 2022 LKTM Palembang All Rights Reserved